Siswa, Malas, dan Sekolah yang Membosankan: Sebuah Opini Kritis
Ketika siswa malas belajar, publik sering buru-buru menyalahkan generasi. Dikatakan bahwa anak-anak hari ini tidak punya semangat, kecanduan gawai, minim etika belajar, dan enggan berjuang. Kritik seperti ini terdengar lantang, namun dangkal. Ia menghakimi gejala tanpa menyentuh akar.
Dalam dunia pendidikan, siswa tidak bisa dipisahkan dari sistem yang membentuknya. Malas belajar bukanlah penyimpangan moral individu, melainkan seringkali respons wajar terhadap ruang belajar yang kering, repetitif, dan kehilangan makna.
Di banyak ruang kelas, pendidikan telah tereduksi menjadi proses pengisian kepala, bukan pengasahan nalar. Anak-anak dijejali informasi, bukan ditantang untuk memahami. Mereka diajari menjawab soal, bukan mengajukan pertanyaan. Maka jangan heran jika mereka diam, bukan karena enggan berpikir, tapi karena tidak tahu apa yang bisa dipikirkan.
Kemampuan bertanya bukan sekadar keterampilan, melainkan hasil dari ekosistem yang memberi ruang untuk penasaran. Jika anak-anak tidak tahu apa yang ingin mereka tanyakan, itu bukan karena mereka malas berpikir, melainkan karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan. Sekolah terlalu sibuk memenuhi target kurikulum, hingga lupa bahwa belajar sejati lahir dari relevansi, bukan sekadar rutinitas.
Memang, dalam tahap awal, belajar bisa dimulai dari paksaan. Struktur dan disiplin adalah fondasi awal dalam membangun kebiasaan. Namun pendidikan yang berhenti pada paksaan akan menciptakan keterpaksaan, bukan keingintahuan. Sedangkan pembelajaran yang berhasil selalu mengantar dari keterpaksaan menuju kesadaran.
Kesadaran inilah yang menjadi fondasi utama pendidikan masa depan. Anak-anak perlu melihat bahwa belajar bukan hanya untuk lulus ujian, tetapi untuk mengenali diri dan memahami dunia. Mereka butuh alasan, bukan sekadar perintah.
Jika siswa terlihat malas, pertanyaannya bukan sekadar "Mengapa mereka tak mau belajar?", melainkan "Sudahkah kita menghadirkan alasan yang cukup untuk membuat mereka ingin belajar?"
Kita sering mengeluh generasi muda tidak kritis, padahal sistem yang kita rawat justru membungkam pertanyaan. Kita menuntut anak-anak aktif, padahal kita sendiri tak memberi ruang dialog. Dan kita mengharapkan kesadaran tumbuh, padahal yang ditanam sejak awal hanyalah kepatuhan.
Maka yang perlu dikritik bukan hanya siswa yang terlihat malas, tapi juga sistem yang terlalu nyaman membiarkan rasa ingin tahu mereka mati muda.
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menundukkan. Menghidupkan pertanyaan, bukan menyiapkan jawaban tunggal. Jika saat ini siswa tampak kehilangan semangat belajar, bisa jadi karena selama ini mereka tak pernah diajak merasa bahwa pikirannya penting.
Dan ketika berpikir tak lagi dihargai, malas menjadi pilihan yang paling logis.
Oleh: Nur Adjma
Belum ada Komentar untuk "Siswa, Malas, dan Sekolah yang Membosankan: Sebuah Opini Kritis"
Posting Komentar